Jumat, 28 November 2008

adenium

ಕುಮ್ಪುಳನ್ ತನಮನ್ hias

Selasa, 18 November 2008

Belang di Mutu Manikam

Klik untuk melihat foto lainnya...

Seribu restoran didatangi, seribu penolakan didapat. Itulah nasib Kolonel Harland Sanders waktu menawarkan paten resep ayam goreng miliknya. Penolakan demi penolakan juga dialami sepot bibit dud unyamanee di nurseri Wijaya, Bogor. Namun, waktu kemudian membuktikan: ayam goreng sang Kolonel beken seantero dunia sebagai Kentucky Fried Chicken. Dud unyamanee di Bogor jadi aglaonema mutasi berpenampilan cantik.

Bibit sri rejeki itu didatangkan Gunawan Widjaja dari Thailand akhir 2007. Ia datang berbarengan dengan 4.999 bibit dud unyamanee lain. Sayang, nasib mutu manikam-arti dud unyamanee-satu itu merana. Berpuluh bahkan beratus pembeli datang ke nurseri Wijaya, tak satu pun yang meliriknya.

Duduk perkaranya begini. 'Penampilan daun pertamanya jelek. Warna merah di daun sangat sedikit-hanya menyerupai titik. Yang dominan justru hijaunya,' tutur Gunawan. Padahal merah di dud unyamanee mestinya kuat. Daun kedua, warna merah mulai banyak tapi ada titik-titik putih yang memberi kesan kotor. Pantas ia selalu tersisih-tidak dipilih pembeli.

Namun, ketika daun ketiga keluar, aglaonema hasil perbanyakan kultur meristem itu mulai menampakkan kecantikannya. Titik-titik putih kian banyak. Kelir itu berpadu dengan kombinasi hijau merah khas dud unyamanee. Rupa-rupanya anggota famili Araceae itu bermutasi menjadi variegata. Kini sang mutu manikam tampil elok dengan 9 daun berpola hijau-merah-putih yang langka.

Grup chimera

Mutasi juga membuat penampilan legacy koleksi Suparman beda. Mestinya sri rejeki itu didominasi warna merah kejinggaan. Yang dimiliki Suparman justru dominan putih gading dengan aksen bercak hijau. Dengan pola warna seperti itu penampilan aglaonema asal negeri Siam itu pun terlihat anggun.

Penelusuran Trubus, legacy salah satu sri rejeki yang banyak mengalami mutasi warna. Di lomba tanaman hias Suan Luang, Bangkok, pada Desember 2006 ada legacy hijau dan merah menjadi peserta. Di nurseri Wijaya ada legacy bertulang violet. Menurut Gregori Garnadi Hambali, pakar botani yang juga penyilang aglaonema, peluang sri rejeki bermutasi kian besar jika kerap diperbanyak.

Hal itu sejalan dengan yang diungkap oleh Dr Ir Syarifah Iis Aisyah, MSc Agr. 'Peluang mutasi pada aglaonema besar,' tutur pakar dari Institut Pertanian Bogor itu kepada Laksita Wijayanti, wartawan Trubus. Aglaonema, bersama puring, termasuk tanaman grup chimera. Maksudnya secara alami tanaman itu mudah mengalami mutasi. Itu karena satu sifat-dalam hal ini warna-dikendalikan oleh banyak gen. Jika satu gen berubah, maka variasi sifat itu dengan mudah berubah pula. Perubahan atau mutasi di tingkat gen biasanya terjadi pada saat sel-sel berdiferensiasi. Ini kondisi sel ketika tanaman diperbanyak.

Tanaman indoor

Toh, aglaonema cantik tak melulu didapat karena mutasi. Tangan-tangan penyilang di negeri Gajah Putih melahirkan varian lipstik terbaru. New lipstick berpulas warna merah muda di tepi daun. Dasar daun bernuansa kuning. Lipstik klasik bertepi merah. Kelebihan lain lipstik baru: sosok pendek, kompak, daun kecil tapi bentuknya melebar, rata, dan tangkai pendek.

Jenis baru lain sri rejeki berwarna hijau. Warnanya memang kurang mentereng, tapi pendatang dari tanah Siam itu kompak. Susunan daunnya padat, tapi terlihat gemulai. 'Yang pasti ia tahan diletakkan di dalam ruangan sehingga cocok sebagai indoor plant,' ujar Gunawan. Si hijau itu juara kelas hijau di kontes Thailand.

Nuansa hijau juga dimiliki aglaonema koleksi Tirto Hartono di Jakarta Barat. Yang membuat menarik, tulang daunnya merah muda. Kerabat alokasia itu pun bandel-tidak gampang terkena penyakit. Penampilan sri rejeki dari Thailand itu mirip dengan silangan dr Purbo Djojokusumo. Hanya saja silangan Purbo ukuran daun besar dan cenderung membulat. Sayang paduan warna hijau dan merah muda masih bleber.

Penyilang Thailand memang getol menghasilkan jenis baru yang apik. Pantas bila di setiap kontes selalu ada kelas hibrida baru. Itu yang dilihat Rosy Nur Apriyanti, wartawan Trubus, di Nonthaburi, Thailand pada Agustus 2008. Di kelas new hybrid si merah dengan pulasan keemasan jadi pemenang. Kontestan lain juga elok. Sebut saja aglaonema merah polos dan mengkilap, sri rejeki perpaduan warna hijau muda dan merah muda, serta merah berdaun bulat. Dari mutasi atau silangan, sang ratu tetap memikat. (Evy Syariefa)

daunsemi: Amtenar Penyuling Sirih

daunsemi: Amtenar Penyuling Sirih

http://kumpulbloger.com/m

Amtenar Penyuling Sirih

Di mulut Sarinah, daun sirih hanya dikunyah untuk memperkuat gigi. Bertahun-tahun perempuan 65 tahun itu menyirih. Namun, di tangan Purwanto daun sirih memberikan laba bersih Rp9.9 00.000 sebulan. Itu hasil penjualan 30 kg minyak sirih yang rutin ia suling seharga Rp1,5-juta per kg. Biaya produksi sekilo minyak Rp1.170.000.

Pagi hingga siang, Purwanto memang amtenar alias pegawai negeri sipil. Ia menjadi penyuling daun sirih ketika petang sampai malam setelah pulang bekerja. Pria 43 tahun itu tak perlu pusing memasarkan minyak sirih hasil sulingannya. Setiap pekan pengepul menjemput komoditas itu ke rumahnya di Desa Jelok, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Dalam sepekan ia menjual 7,5 kg minyak sirih. Itu hasil 5 kali menyuling masing-masing 300 kg daun sirih kering yang menghasilkan 1,5 kg minyak.

Pengepul mensyaratkan minyak sirih yang jernih dan beraroma kuat. Begitu minyak diambil, pengepul membayar tunai. Daun sirih mengandung minyak terbang-betlephenol, seskuiterpen, monoterpen, monoterpenoids, dan chavicol. Khasiat senyawa aktif itu antara lain antikuman dan anticendawan.

Beragam industri produk kesehatan dan kecantikan memanfaatkan ekstrak daun sirih sebagai antibiotik. Itu sesuai dengan pemanfaatan secara taradisional. Bedanya nenek moyang kita menggunakan sediaan daun sirih segar, bukan ekstraksi.

Pria kelahiran Boyolali 7 September 1965 itu memanfaatkan sirih sebagai b ahan baku minyak asiri lantaran ketersediaannya melimpah. Ia membeli daun sirih kering siap suling dari para pemasok Rp5.250 per kg. Sedangkan untuk daun segar yang berasal dari lahan sendiri, alumnus Universitas Sulawesi Tenggara itu menjemurnya hingga 2 hari, sebelum disuling. Dari daun-daun itulah Purwanto memperoleh minyak sirih.

Jual motor

Lokasi penyulingan di sebuah bangunan seluas setengah lapangan basket persis di sisi kanan rumahnya. Di sana terdapat sebuah ketel besi berkapasitas 300 kg bahan baku, ampas sulingan kering, ban bekas, dan kayu bakar. Tiga yang disebut terakhir dimanfaatkan sebagai bahan bakar ketika Purwanto menyuling daun anggota famili Piperaceae itu.

Biaya terbesar untuk pembelian bahan baku. Untuk menghasilkan 1 kg minyak, perlu 200 kg daun kering seharga Rp1.050.000. Ongkos tenaga kerja, dan bahan bakar Rp120.000. Artinya, dari penjualan sekilo minyak sirih ia memetik laba bersih Rp330.000.

Sukses Purwanto memproduksi minyak sirih tak diraih begitu saja. Ia memulai menekuni bisnis minyak asiri dengan belajar menyuling pada 2001. Ketika itu ia baru kembali ke kampung halaman setelah 15 tahun berdinas sebagai pegawai negeri sipil di Sulawesi Tenggara. Hanya mengandalkan gaji tak cukup. 'Saat itu hidup saya sulit. Saya sempat kerja sambilan menganyam rotan untuk menyambung hidup karena gaji tak cukup,' katanya.

Oleh karena itu, 'Saya mulai mempelajari cara menyuling minyak asiri untuk mendapatkan penghasilan lebih,' ujar Purwanto. Ia belajar teknik penyulingan ke produsen minyak asiri di kampungnya. Ketika itu di Cepogo, Kabupaten Boyolali, banyak penyuling adas Foeniculum vulgare. Usai pulang kerja, ia menghampiri beberapa penyuling. Selain itu ia juga mengikuti seminar atau pelatihan yang diselenggarakan Dinas Perindustrian Boyolali.

Untuk modal awal ia menjual sebuah sepeda motor dan meminjam di bank. Dana itu dimanfaatkan untuk membeli ketel, sebuah mobil pick up sebagai alat transportasi untuk mengangkut bahan baku dari kebun, dan biaya operasional. 'Kalau angkutannya menyewa, biaya produksi jadi tinggi. Makanya harus beli mobil,' katanya.

Jadilah Purwanto sebagai penyuling pada 2003. Komoditas yang ia olah adalah adas karena ketersediaan bahan baku melimpah. Untuk menghasilkan 1 kg minyak ia memerlukan 33 kg buah tanaman anggota famili Umbelliferae itu. Artinya rendemen adas hanya 3%.

Efisiensi

Saat itu Purwanto memproduksi minyak adas 10 kg per bulan. Dengan harga jual Rp600.000 per kg, omzetnya Rp6.000.000. Menurut Purwanto biaya produksi untuk menghasilkan sekilo minyak ketika itu hanya Rp286.500. Maklum, harga bahan baku relatif murah, Rp3.000 per kg. Laba bersihnya mencapai Rp313.500. Namun, kini biaya produksi minyak adas makin tinggi. Biaya bahan baku saja mencapai Rp15.000 per kg atau Rp495.000 untuk menghasilkan 1 kg minyak.

Dengan memperhitungkan bahan bakar dan tenaga kerja, laba penjualan minyak adas amat tipis. Sebab, harga jual minyak adas di tingkat penyuling tak berubah, Rp600.000 per kg. Itulah sebabnya enam bulan terakhir, ayah 3 anak itu berhenti menyuling adas. Sebagai gantinya Purwanto menyuling daun sirih. Selain karena ketersediaan bahan baku, harga jual minyak sirih yang menjulang menjadi daya tarik baginya.

Agar labanya kian besar, Purwanto berencana mengganti ketel berukuran lebih besar, 1 ton. Sebab, biaya tenaga kerja untuk menyuling 300 kg dan 1.000 kg daun sirih sama saja. Dengan memperbesar ukuran ketel, ia dapat menghemat biaya produksi Rp180.000 tiap kali menyuling. Selain itu untuk menghasilkan 7,5 kg minyak sirih per pekan, ia hanya perlu sekali menyuling. Bandingkan dengan saat ini, 5 kali menyuling sepekan untuk menghasilkan volume sama. (Ari Chaidir)

Amtenar Penyuling Sirih

Di mulut Sarinah, daun sirih hanya dikunyah untuk memperkuat gigi. Bertahun-tahun perempuan 65 tahun itu menyirih. Namun, di tangan Purwanto daun sirih memberikan laba bersih Rp9.9 00.000 sebulan. Itu hasil penjualan 30 kg minyak sirih yang rutin ia suling seharga Rp1,5-juta per kg. Biaya produksi sekilo minyak Rp1.170.000.

Pagi hingga siang, Purwanto memang amtenar alias pegawai negeri sipil. Ia menjadi penyuling daun sirih ketika petang sampai malam setelah pulang bekerja. Pria 43 tahun itu tak perlu pusing memasarkan minyak sirih hasil sulingannya. Setiap pekan pengepul menjemput komoditas itu ke rumahnya di Desa Jelok, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Dalam sepekan ia menjual 7,5 kg minyak sirih. Itu hasil 5 kali menyuling masing-masing 300 kg daun sirih kering yang menghasilkan 1,5 kg minyak.

Pengepul mensyaratkan minyak sirih yang jernih dan beraroma kuat. Begitu minyak diambil, pengepul membayar tunai. Daun sirih mengandung minyak terbang-betlephenol, seskuiterpen, monoterpen, monoterpenoids, dan chavicol. Khasiat senyawa aktif itu antara lain antikuman dan anticendawan.

Beragam industri produk kesehatan dan kecantikan memanfaatkan ekstrak daun sirih sebagai antibiotik. Itu sesuai dengan pemanfaatan secara taradisional. Bedanya nenek moyang kita menggunakan sediaan daun sirih segar, bukan ekstraksi.

Pria kelahiran Boyolali 7 September 1965 itu memanfaatkan sirih sebagai b ahan baku minyak asiri lantaran ketersediaannya melimpah. Ia membeli daun sirih kering siap suling dari para pemasok Rp5.250 per kg. Sedangkan untuk daun segar yang berasal dari lahan sendiri, alumnus Universitas Sulawesi Tenggara itu menjemurnya hingga 2 hari, sebelum disuling. Dari daun-daun itulah Purwanto memperoleh minyak sirih.

Jual motor

Lokasi penyulingan di sebuah bangunan seluas setengah lapangan basket persis di sisi kanan rumahnya. Di sana terdapat sebuah ketel besi berkapasitas 300 kg bahan baku, ampas sulingan kering, ban bekas, dan kayu bakar. Tiga yang disebut terakhir dimanfaatkan sebagai bahan bakar ketika Purwanto menyuling daun anggota famili Piperaceae itu.

Biaya terbesar untuk pembelian bahan baku. Untuk menghasilkan 1 kg minyak, perlu 200 kg daun kering seharga Rp1.050.000. Ongkos tenaga kerja, dan bahan bakar Rp120.000. Artinya, dari penjualan sekilo minyak sirih ia memetik laba bersih Rp330.000.

Sukses Purwanto memproduksi minyak sirih tak diraih begitu saja. Ia memulai menekuni bisnis minyak asiri dengan belajar menyuling pada 2001. Ketika itu ia baru kembali ke kampung halaman setelah 15 tahun berdinas sebagai pegawai negeri sipil di Sulawesi Tenggara. Hanya mengandalkan gaji tak cukup. 'Saat itu hidup saya sulit. Saya sempat kerja sambilan menganyam rotan untuk menyambung hidup karena gaji tak cukup,' katanya.

Oleh karena itu, 'Saya mulai mempelajari cara menyuling minyak asiri untuk mendapatkan penghasilan lebih,' ujar Purwanto. Ia belajar teknik penyulingan ke produsen minyak asiri di kampungnya. Ketika itu di Cepogo, Kabupaten Boyolali, banyak penyuling adas Foeniculum vulgare. Usai pulang kerja, ia menghampiri beberapa penyuling. Selain itu ia juga mengikuti seminar atau pelatihan yang diselenggarakan Dinas Perindustrian Boyolali.

Untuk modal awal ia menjual sebuah sepeda motor dan meminjam di bank. Dana itu dimanfaatkan untuk membeli ketel, sebuah mobil pick up sebagai alat transportasi untuk mengangkut bahan baku dari kebun, dan biaya operasional. 'Kalau angkutannya menyewa, biaya produksi jadi tinggi. Makanya harus beli mobil,' katanya.

Jadilah Purwanto sebagai penyuling pada 2003. Komoditas yang ia olah adalah adas karena ketersediaan bahan baku melimpah. Untuk menghasilkan 1 kg minyak ia memerlukan 33 kg buah tanaman anggota famili Umbelliferae itu. Artinya rendemen adas hanya 3%.

Efisiensi

Saat itu Purwanto memproduksi minyak adas 10 kg per bulan. Dengan harga jual Rp600.000 per kg, omzetnya Rp6.000.000. Menurut Purwanto biaya produksi untuk menghasilkan sekilo minyak ketika itu hanya Rp286.500. Maklum, harga bahan baku relatif murah, Rp3.000 per kg. Laba bersihnya mencapai Rp313.500. Namun, kini biaya produksi minyak adas makin tinggi. Biaya bahan baku saja mencapai Rp15.000 per kg atau Rp495.000 untuk menghasilkan 1 kg minyak.

Dengan memperhitungkan bahan bakar dan tenaga kerja, laba penjualan minyak adas amat tipis. Sebab, harga jual minyak adas di tingkat penyuling tak berubah, Rp600.000 per kg. Itulah sebabnya enam bulan terakhir, ayah 3 anak itu berhenti menyuling adas. Sebagai gantinya Purwanto menyuling daun sirih. Selain karena ketersediaan bahan baku, harga jual minyak sirih yang menjulang menjadi daya tarik baginya.

Agar labanya kian besar, Purwanto berencana mengganti ketel berukuran lebih besar, 1 ton. Sebab, biaya tenaga kerja untuk menyuling 300 kg dan 1.000 kg daun sirih sama saja. Dengan memperbesar ukuran ketel, ia dapat menghemat biaya produksi Rp180.000 tiap kali menyuling. Selain itu untuk menghasilkan 7,5 kg minyak sirih per pekan, ia hanya perlu sekali menyuling. Bandingkan dengan saat ini, 5 kali menyuling sepekan untuk menghasilkan volume sama. (Ari Chaidir)

Minyak Asiri 140-juta/Kg


Namanya masih asing: lajagua. Komoditas itu tumbuh liar di tepian hutan dan punggung bukit sehingga jarang dilirik. Eko Wibowo justru mengolah rimpang tumbuhan anggota famili Zingiberaceae itu menjadi 600 kg minyak per bulan. Dengan harga jual Rp280.000-Rp300.000 per kg, omzetnya minimal Rp168-juta sebulan.

Eko Wibowo, penyuling di Ciherang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, itu memperoleh bahan baku berupa irisan rimpang kering dari para pengepul di Banten. Harga beli Rp3.500/kg. Menurut Eko, para pengepul hampir-hampir tak mengeluarkan biaya produksi. Sebab, mereka tak menanam lajagua. Kerabat kencur itu tumbuh liar di hutan jati, bambu, dan belukar. Mereka memanen dan selalu menyisakan sebagian tumbuhan untuk pemanenan berikutnya.

Rendemen penyulingan 2%, untuk memperoleh 1 kg minyak, perlu 50 kg bahan baku seharga Rp175.000. Dengan biaya produksi total Rp250.000/kg, laba bersihnya Rp18-juta/bulan. Ia mulai menyuling lajagua sejak 2007. Ide menyuling komoditas 'baru' itu muncul setelah berselancar di jagat maya. Dari aktivitas itu ia mengetahui ternyata pasar internasional juga memerlukan minyak lajagua sebagai bahan baku produk komestik, dan kesehatan.

Alumnus Universitas Diponegoro itu lantas berkeliling ke berbagai pelosok di Jawa Barat dan Banten untuk mencari sentra bahan baku. Setelah memastikan keberadaan bahan baku, barulah ia menyuling Alpinia malaccensis. Semula produksinya 50 kg per bulan untuk memasok eksportir di Jakarta. Lambat-laun permintaan pasar pun meningkat hingga 600 kg minyak per bulan. Eksportir yang ia pasok tak membatasi volume pengiriman.

Ingin margin yang jauh lebih besar? Minyak mawar dan melati komoditas yang menjanjikan laba besar. Lihat Suryatmi yang menyuling 2-3 liter. Ia menyuling bila ada pesanan yang rata-rata 2 bulan sekali. Volume sulingan memang kecil. Namun, harga minyak melati salah satu yang termahal, di tingkat penyuling Rp20-juta-Rp30-juta per liter. Menurut Suryatmi biaya produksi per kg minyak 'hanya' Rp12-juta. Rendemen minyak melati 0,1% sehingga untuk memperoleh 1 liter perlu 1 ton bunga segar. Dengan sulingan 3 liter, penyuling di Jawa Tengah itu menangguk laba bersih Rp36-juta.

Mahendra-ia enggan disebut nama sebenarnya-belum lama ini mengikuti pameran di Austria. Ia membawa 40 cc minyak melati. Dari jumlah itu 20 cc di antaranya ia bawa ke Paris, Perancis. Seorang the nose-ahli minyak asiri yang mengandalkan indra penciuman untuk mengetahui mutu-hanya berkata singkat, 'Execelent,' usai membaui minyak produksi Mahendra. Konsultan minyak asiri di Paris itu bertanya kepada Mahendra, 'Berapa banyak produksimu?' Ketika Mahendra menjawab 2 liter per bulan, the nose tertawa. 'Saya perlu 500 liter per bulan,' ujar Mahendra mengulangi dialog itu.

Raffiudin, eksportir di Tangerang, Banten, mengatakan pasar minyak melati sangat bagus. Setiap bulan ia mengekspor 3 liter minyak melati ke Amerika Serikat dan Korea Selatan. Permintaan dari Italia belum ia layani lantaran sedikitnya pasokan. Ia tak menyuling sendiri, tetapi menampung hasil sulingan skala rumahan. Pemilik CV Jujur Mujur itu membeli seliter minyak Rp20,5-juta dan menjualnya US$2.900 setara Rp27,8-juta.

Spesies yang banyak disuling adalah Jasminum sambac. Namun, spesies-spesies melati lain seperti melati manis Jasminum officinale, melati spanyol J. grandiflorum, dan melati gambir J. pubescens juga sumber minyak asiri. Sentra terbesar melati di pantai utara Jawa meliputi Kabupaten Batang terdiri atas 140 ha, Pekalongan (380 ha), Pemalang (780 ha), dan Tegal (400 ha).

Harga minyak mawar lebih menggiurkan, Rp140-juta per kg di tingkat penyuling (baca Mawar Melati Semua Menguntungkan hal 28). Itu bila produsen menyuling mawar damaskus Rosa damascena. Bandingkan dengan harga jual minyak mawar Rosa centifolia yang 'cuma' Rp20-juta/kg. Minyak mawar damaskus lebih mahal antara lain lantaran berendemen kecil. Raffiudin, eksportir di Tangerang, menjual minyak mawar alba ke Amerika Serikat US$3.000 setara Rp28,8-juta per kg.

Peluang besar

Lajagua dan bunga melati hanya beberapa bahan baku minyak asiri baru. Di beberapa daerah muncul para penyuling yang mengolah beragam komoditas 'baru' seperti bunga mawar, melati, daun sirih, dan kulit batang kayumanis. Komoditas-komoditas itu memang sudah lama tumbuh di Indonesia, tetapi baru belakangan ini para produsen menyuling.

Harap maklum, selama ini daun sirih hanya lazim sebagai pembersih mulut saat seseorang menyirih. Buah jeruk purut? Paling banter hanya sebagai campuran sambal ketika menikmati menu pecel lele. Namun, ketika disuling menjadi minyak asiri komoditas-komoditas baru itu berpotensi besar.

'Minyak asiri komoditas baru itu berpotensi untuk dikembangkan karena adanya tren masyarakat kembali ke alam,' ujar sekretaris eksekutif Dewan Asiri Indonesia, Dr Meika Syahbana Rusli. Meika, ahli teknologi kimia, mengatakan masyarakat sudah lama memanfaatkan beberapa bahan minyak asiri baru lantaran berkhasiat obat. Sirih, contohnya, berkhasiat sebagai antiseptik; jahe, antihipertensi.

Selain itu beberapa minyak baru itu mempunyai aroma yang khas, berbeda dengan minyak asiri pendahulunya. Minyak kaffirlime hasil sulingan kulit buah atau daun jeruk purut Citrus hystrix salah satu contoh. Menurut Meika minyak yang mengandung 14% sabinene dan 15% limonene itu cocok sebagai aromaterapi sehingga pasar pun menyerap minyak jeruk purut. Samsudin, penyuling di Tulungagung, Jawa Timur, hanya mampu memasok 250 kg minyak jeruk purut per bulan.

Volume sulingan yang tak seberapa itu mesti ia bagi dua untuk memasok eksportir di Surabaya dan Jakarta. Dengan harga jual Rp700.000 per kg, omzetnya Rp175-juta sebulan. Pendapatannya bakal kian membumbung andai saja ia mampu meningkatkan produksi. Sebab, eksportir sanggup menampung berapa pun pasokan kaffirlime.

Krisis ekonomi memang tengah melanda Amerika Serikat. Namun, menurut para eksportir seperti Januar Taher dari PT Haldin Pacific Semesta, krisis tak mempengaruhi permintaan pasar dunia. Ia mengatakan permintaan beberapa jenis minyak asiri justru meningkat. Peningkatan permintaan itu boleh jadi lantaran beragam produk berbahan minyak asiri sudah menjadi kebutuhan pokok para konsumen kelas atas.

Langka

Untuk memenuhi tingginya permintaan minyak asiri baru itu, memang tak semudah mengedipkan mata. Sebab, banyak hambatan menghadang. Kendala klasik adalah bahan baku amat langka seperti dialami Arjani. Penyuling di Wanayasa, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, itu setahun terakhir menyuling lajagua. Sayang, pasokan bahan baku seret karena belum ada yang mengebunkan kerabat jahe itu.

Pemasok yang mengirimkan bahan baku ke Arjani mengambil rimpang tua di alam. Di Purwakarta sentra lajagua di Pegunungan Burangrang. Akibat pasokan terbatas, pria 40 tahun itu hanya sanggup memasok puluhan kilo minyak lajagua per bulan dari permintaan tak terbatas.

Keterbatasan bahan baku itulah yang menyebabkan Helsangga berhenti sementara menyuling kemukus Piper cubeba. Sebelumnya, selama 3 tahun penyuling di Yogyakarta itu rutin menyuling 200 kg buah menjadi 20 kg minyak per hari. Harga pembelian buah kemukus rata-rata Rp40.000 per kg. Artinya untuk memproduksi 1 kg minyak ia memerlukan 10 kg bahan baku senilai Rp400.000. Sedangkan harga jual minyak Rp800.000-Rp900.000 per kg.

Joko Suyono menghadapi masalah serupa sehingga tangki penyulingan berkapasitas 300 kg pada 2 bulan terakhir menganggur. Penyuling di Rancaekek, Kabupaten Bandung, itu sulit memperoleh daun sirih. 'Bahan baku sangat susah didapat. Sekali membeli hanya bisa mendapatkan sekitar 5 kg sirih,' kata Joko yang menyuling sejak 2003.

Selain itu kendala lain berupa pemahaman soal mutu bahan baku. Arjani pernah kecele membeli 2 ton rimpang jahe. Setelah ia suling rendemennya hanya 0,3%. Itu karena pekebun memanen rimpang muda, umur panen 5-7 bulan. Idealnya jahe panen ketika berumur setahun sehingga rendemen relatif tinggi, 1,2%. 'Sulit membedakan rimpang jahe yang panen muda dan panen tua. Di daerah kering, warna jahe yang dipanen muda sama dengan yang dipanen tua,' kata Arjani yang menyuling jahe 3 tahun terakhir. Arjani mengatakan hanya jahe emprit yang potensial disuling lantaran rendemen paling tinggi ketimbang jahe lain-jahe gajah dan jahe merah.

Kurang pasokan

Bila beragam hambatan teratasi, pasar minyak asiri baru itu terbuka. Lihatlah Sugono yang kelimpungan memenuhi permintaan rutin 20 ton minyak kayumanis setiap bulan. Saat ini penyuling di Bogor, Jawa Barat, itu baru sanggup memproduksi 100 kg minyak kayumanis per bulan. Dengan harga jual Rp600.000 per kg, omzet Sugono mencapai Rp60-juta. Menurut Sugono biaya produksi sekilo minyak 'cuma' Rp200.000, sehingga laba bersihnya Rp40-juta sebulan.

Di Jenangan, Kabupaten Ponorogo, Provinsi Jawa Timur, sejak 3 tahun lalu Mutato Hari rutin menyuling rimpang jahe Zingiber officinale. Pria 38 tahun itu memproduksi 80 kg minyak per bulan untuk memenuhi permintaan eksportir. Alumnus Universitas Pembangunan Nasional Veteran Surakarta itu memperoleh harga Rp700.000 per kg sehingga omzetnya Rp56-juta. Menurut Mutato biaya produksi per kg minyak mencapai Rp420.000.

Biaya terbesar, tentu saja, untuk pengadaan bahan baku. Sebab, rendemen jahe relatif kecil, 1% sehingga untuk menghasilkan 1 kg minyak ia memerlukan 100 kg bahan segar. Pemasok bahan baku adalah para pekebun di Pacitan, Nganjuk, Trenggalek, dan Tulungagung-semua di Provinsi Jawa Timur. Dengan harga beli Rp2.000 per kg, sarjana Teknik Sipil itu harus mengeluarkan Rp200.000 untuk memproduksi 1 kg minyak. Laba bersih Mutato Hari dari penyulingan minyak jahe mencapai Rp22,4-juta sebulan.

Yang juga kewalahan melayani permintaan minyak asiri adalah RA Eti, pemilik PT Pemalang Agro Wangi. Empat tahun terakhir ia mengekspor minyak mawar, melati, jahe, jeruk purut, kemiri, dan nilam. Volume ekspor setiap Juli dan Desember masing-masing 200-300 kg minyak jahe, 10 kg mawar, 5 kg jeruk, 1 kg melati. Selain nilam yang ia suling sendiri, kontinuitas ekspor minyak-minyak asiri itu mengandalkan pasokan para penyuling binaan di berbagai kota.

Ibu 5 anak itu lalu mengemas minyak asiri itu dalam botol 10 cc dan 20 cc sesuai permintaan pembeli. Pembeli di Paris, Perancis, sebetulnya tak membatasi volume pengiriman. Namun, Eti mesti membagi dengan pasar domestik. Maklum, setiap bulan 3 pelanggannya datang menjemput beragam minyak asiri. Mereka ekspatriat asal Taiwan, Italia, dan Singapura yang membeli minyak asiri untuk dikirim ke negara masing-masing. Total permintaan mereka rata-rata 1 kg minyak melati, 10 kg jeruk purut, dan 300 kg minyak jahe. 'Prospek minyak asiri baru itu sangat bagus. Seluruh dunia antusias dengan semua minyak asiri Indonesia,' ujar mantan guru SD yang kini eksportir itu.

Mungkin karena itulah Mulyono, eksportir di Jakarta, terus mengembangkan jenis-jenis minyak asiri baru. Separuh dari 20 jenis minyak asiri yang Mulyono suling merupakan jenis minyak baru seperti bangle, jahe, kunyit, lajagua, dan lengkuas. Kepada reporter Trubus Faiz Yajri direktur PT Scent Indonesia itu mengatakan rutin mengekspor 500 kg minyak jahe per bulan. Pria kelahiran Cilacap, Jawa Tengah, 21 Desember 1943 itu menuturkan permintaan minyak jahe tak terbatas. Sayang, ia menolak menyebutkan harga jual dan margin dari perniagaan itu.

Bermitra

Menurut Muhammad Chandra pasar juga memburu minyak asiri kayuputih. Manajer industri Perum Perhutani Unit 3 Jawa Barat itu mengatakan, 'Bisnis minyak kayuputih tidak pernah rugi. Produksi berapa pun selalu terserap industri. Itu baru industri dalam negeri, belum industri luar negeri,' ujar alumnus Fakultas Biologi Universitas Padjadjaran. Ia memasarkan 31 ton minyak kayuputih per bulan untuk pasar domestik.

Chandra memproduksi minyak kayuputih selama 8 bulan dalam setahun. Ketika curah hujan tinggi, November-Januari, ia berhenti memproduksi lantaran rendemen melorot, hanya 0,6%. Rendemen pada musim kemarau 0,8%. Itu berarti untuk menghasilkan 1 kg minyak perlu 125 kg bahan baku berupa daun tua berumur 6-9 bulan. Saat ini Perhutani menjual minyak kayuputih kepada industri Rp110.000-Rp115.000 per kg.

Perhutani Unit 3 juga mengembangkan kemitraan dengan penyuling skala rumahan. Parimin Abdullah, mitra Perhutani, menyuling 2.000 kg bahan baku sehari. Mesin penyuling miliknya berkapasitas 1.000 kg. Dalam sehari produsen di Kawunganten, Kabupaten Cilacap, itu 2 kali menyuling. Dari 2 ton bahan baku, guru Madrasah Ibtidaiyah-setingkat SD-Al Manar-itu memperoleh 16 kg minyak. Parimin memperoleh bahan baku gratis dari Perhutani.

Konsekuensinya hasil penjualan minyak dibagi 2 dengan persentase 60% untuk Parimin dan 40% untuk Perhutani. Menurut Parimin biaya produksi 1 kg minyak-tanpa memperhitungkan bahan baku-cuma Rp13.600. Harga jual minyak Rp89.000 per kg. Parimin memperoleh bagian 60% atau Rp53.400. Bila produksinya 16 kg per hari atau 480 kg per bulan maka laba Parimin Rp19,1-juta.

Itu bukti perniagaan minyak asiri bukan cuma monopoli perusahaan besar. 'Dari dapur kita bisa menghasilkan uang karena modal menyuling relatif kecil,' kata RA Eti. Apalagi Indonesia mempunyai minimal 70 tumbuhan penghasil minyak asiri. Baru sebagian kecil yang tersuling untuk memenuhi besarnya pangsa pasar. (Sardi Duryatmo/Peliput: Ari Chaidir, Niken Anggrek, & Tri Susanti)

Senin, 03 November 2008

Tiga pasang tangan kekar terlihat susah payah mengangkat pot berdiameter 50 cm berisi puring polkadot. Pot dengan Codiaeum variegatum setinggi 1 m itu

Hidupnya menyendiri di pinggir tebing. Akarnya mencengkeram pada bebatuan. Kaudeks berdiameter sekitar 6 cm menyembul di antara celah batu. Begitulah hidup Euphorbia waringiae di habitatnya. Namun, di tangan Boen Soediono anggota famili Euphorbiaceae itu tumbuh di dalam pot. Kehadirannya memperindah sudut ruang di kediamannya di Jakarta Pusat.

Euphorbia asal Madagaskar itu men-jadi pilihan Boen lantaran bersosok unik. Kerabat jarak pagar itu memiliki bonggol bulat seukuran telur. Dari ujung bonggol tumbuh batang bercabang dua. Salah satu cabang hanya berukuran sekitar 6 cm dan diselimuti daun lanset hijau keunguan. Sedangkan cabang yang lain panjangnya sekitar 40 cm dan memiliki 2 anak cabang.

Masing-masing anak cabang itu tengah memunculkan bunga berwarna kuning dengan semburat salem. Bentuknya mirip Euphorbia milii yang populer di tanahair. Hanya saja berukuran lebih kecil yakni berdiameter 5-7 mm. Agar lebih cantik, tanaman itu ditanam pada pot keramik setinggi 20 cm. Cabang yang panjang dibiarkan menjuntai dan dito-pang batu fosil seukuran kepalan tangan sehingga membentuk gaya cascade.

Dari Thailand

Dengan penampilan seperti itu, Euphorbia waringiae ibarat naik kelas. Tanaman liar yang hidup di antara semak-semak itu kini berbalut pot nan indah. Saat dipajang pada pameran Trubus Agro Expo di Parkir Timur Senayan, Jakarta, tanaman itu banyak mengundang pujian para pengunjung. Ia memang pantas mengikuti jejak kerabatnya, seperti poinsetia dan Euphorbia milii yang lebih dulu dikenal sebagai tanaman hias.

Mengoleksi E. waringiae kian istimewa karena tergolong tanaman langka. Meski hidup jauh dari jangkauan manusia, keberadaannya di alam terancam punah. Maklum, ia tumbuh di daerah kritis dan minim hara. Keluarga jarak-jarakan itu hidup di bukit-bukit batu di bagian barat daya Madagaskar.

Untuk memenuhi kebutuhan hara, ia hanya bersandar pada humus yang berasal dari daun semak yang berguguran. Seandainya humus itu makin terkikis, maka terancam pula hidupnya. Dengan mengoleksi tanaman itu berarti memperpanjang kehidupan mereka. Apalagi bila kerabat singkong itu dibudidayakan dan diperbanyak baik secara vegetatif maupun generatif.

Tak hanya Euphorbia waringiae yang dikoleksi Boen. Euphorbia endemik Madagaskar lainnya juga ia datangkan via Thailand. Salah satunya Euphorbia capsaintemariensis. Penampilannya tak kalah unik. Dari ujung batang yang hanya setinggi 3 cm, tumbuh sekitar 20 cabang.

Di ujung cabang tumbuh daun tebal berukuran 2 cm yang bagian tepinya bergelombang dan menggulung ke dalam. Bunganya kuning dan mungil seukuran bunga Euphorbia waringiae. Hanya saja semburatnya hijau. E. capsaintemariensis juga hidup di daerah berbatu.

13 tahun

E. capsaintemariensis sejatinya varian dari Euphorbia decaryi. Jenis inilah yang dikoleksi Hanodo Buntoro di Pati, Jawa Tengah, sejak 13 tahun silam. Pantas bila dilihat dari bentuk daun keduanya hampir mirip. Bedanya, daun E. decaryi lebih tebal dan berwarna marun. Meski sedang tidak berbunga, sosok kerabat sambang darah itu menawan karena bertajuk rimbun. Saking rimbunnya batang dan cabang nyaris tak terlihat diselimuti daun.

'Tanaman itu pertumbuhannya lamban, hanya beberapa milimeter setiap tahunnya. Ia lebih suka tumbuh membentuk cabang baru,' ujar Buntoro. Oleh sebab itu, koleksi pemilik nurseri Soetomo Flora itu hanya setinggi 15 cm meski berumur 13 tahun. Namun, ketika daun disingkap tampak puluhan cabang yang sangat rapat.

Euphorbia endemik Madagaskar yang juga didatangkan Boen adalah Euphorbia suzannae-marnieriae. Daun tanaman yang hidup di Provinsi Toliara, Madagaskar, itu juga mirip capsaintemariensis dan decaryi. Hanya saja ukuran daun lebih panjang dan lebar. Daunnya juga lebih tipis. Namun, ia memiliki kaudeks seperti E. waringiae yang berukuran 5-6 cm.

Ada lagi Euphorbia neohumbertii yang penampilannya berbeda dengan ketiga jenis sebelumnya. Batangnya menyerupai kaktus dengan penampang melintang berbentuk segi delapan. Daunnya oval dan bertangkai menyerupai raket tenis. Daun hanya tumbuh di ujung cabang sehingga membentuk tajuk seperti payung. Tanaman terlihat indah bila daun pada setiap cabang tumbuh serempak.

Hibrida

Keelokan jenis spesies menitis pada turunannya. Salah satunya silangan antara Euphorbia labatii dan E. ambovombensis. Bila dilihat dari bentuk daun, hasil silangan itu didominasi karakter E. labatii. Ciri khas utama tanaman itu berdaun tipis dengan tulang daun berwarna hijau muda sehingga menimbulkan corak pada daun. Sedangkan E. ambovombensis memiliki karakter mirip E. decaryi yakni berdaun tebal, berwarna marun, dan keriting di bagian tepi daun. Alhasil, dari persilangan itu muncul karakter labatii, tetapi daunnya lebih tebal. Penampilannya kian cantik karena daun tumbuh roset.

Kecantikan kerabat bunga delapan dewa itu membuat Jeanne Wenas, kolektor asal Surabaya, rela merogoh kocek demi mendapat koleksi saudara dekat bunga delapan dewa itu. Ketertarikan pemilik nurseri Green & Grow itu bukan tanpa alasan. Keindahan kerabat-kerabat euphorbia ternyata dapat dinikmati meski sedang tak semarak bunga. (Imam Wiguna/Peliput: Destika Cahyana)ಸುಮ್ಬೇರ್ ಮಜಲಃ ತ್ರುಬುಸ್

Pilihan Nyaman Buat Karotong

Tiga pasang tangan kekar terlihat susah payah mengangkat pot berdiameter 50 cm berisi puring polkadot. Pot dengan Codiaeum variegatum setinggi 1 m itu ajek meski digeser ke kiri dan kanan. Musababnya, si empunya tanaman menggunakan media berupa campuran tanah merah dan pupuk kandang. 'Media itu bagus, tapi terlalu berat untuk tanaman dalam pot,' kata Fredy Wiyanto, pekebun di Tangerang.

Media tanah merah memang banyak dipakai pekebun puring. Menurut Ir Arie Wijayani Purwanto MS, tanah merah dipilih karena puring dianggap tanaman bandel. 'Di tanah merah lapisan bawah (seperti di pemakaman, red) pun dapat tumbuh,' kata dosen Jurusan Agronomi Fakultas Pertanian UPN Yogyakarta itu. Puring pun mampu beradaptasi di tanah liat hingga berpasir. Tanah liat mengikat air dengan kuat, tapi sulit dilewati air. Sebaliknya tanah berpasir kurang mengikat air, tapi mudah dilewati air.

Lantaran bandel, banyak kolektor dan pekebun meniru media tumbuh puring di alam untuk penanaman di pot tanpa modifikasi sama sekali. Lazimnya mereka membuat campuran 50-80% tanah merah dan sisanya pupuk kandang atau kompos. 'Padahal kondisi mikro di pot dengan di lahan berbeda,' kata Fredy. Di pot jumlah air, hara, dan udara serbaterbatas. Karena itu dibutuhkan media porous, artinya mudah memegang air sekaligus gampang dilewati air. Bila media terlalu kuat mengikat air, daerah perakaran becek sehingga akar gampang busuk. Sebaliknya bila terlalu mudah dilewati air, daerah perakaran kering.

Media terlalu basah atau kering berisiko kematian bagi puring muda yang baru dipindahkan. Setahun silam, seorang eksportir di Tangerang gagal menanam croton impor karena menganggap enteng media. Dari 1.000 tanaman yang diimpor hanya setengahnya selamat. Media tanah pun punya kelemahan: berat. Padahal sebagai potplant tanaman harus mudah dipindah, digeser, dan diputar. Yang disebut terakhir agar arah tumbuh daun merata ke segala arah. 'Media ringan penting agar perawatan mudah,' kata Arie.

Porous dan ringan

Pengalaman pekebun sukses bisa jadi rujukan memilih media tepat untuk puring. Fredy memilih media campuran cocochip alias potongan sabut kelapa, humus bambu, dan tanah merah dengan komposisi 60:15:25. Tanah merah tetap digunakan karena berperan mengikat akar. 'Bila media tak mengikat akar, tanaman gampang roboh,' ujarnya. Komposisi media itu mirip dengan yang dipakai pekebun di Bangkruey, Thailand. Di sana cocochip memang populer sebagai campuran utama media tanam. Agar tanin pada cocochip hilang, pastikan sebelum dipakai direndam air selama seminggu, lalu dikeringkan.

Menurut Prof Dr Dedik Budianta, pakar ilmu tanah di Jurusan Tanah Universitas Sriwijaya, cocochip mempunyai sifat khas. Ia bahan organik berbahan sabut kelapa yang mudah mengikat air. Namun, karena dibentuk berupa potongan maka cocochip mudah dilewati air. Itu karena permukaan antarpotongan saling bersentuhan membentuk pori makro. Ruang itu diisi oleh udara dan menjadi saluran keluarnya air. Berbeda dengan cocopeat yang berbahan sabut kelapa tapi berbentuk serbuk. Cocopeat kuat memegang air tapi sulit dilewati air sehingga rawan menggenang.

Di Yogyakarta, Linda Irawati memilih campuran media lain yang juga ringan. Pemilik nurseri Camelia itu menggunakan campuran humus bambu dengan pupuk kandang. Perbandingannya 5:1. Humus bambu merupakan serasah daun bambu yang telah melapuk dan banyak ditemukan di lantai kebun bambu. 'Bentuk fisiknya sudah seperti tanah,' kata Linda. Agar air mudah keluar dari pot, Linda membuat lubang di dasar dan pinggir pot lebih banyak. Dengan campuran itu kura dan oscar koleksi Linda tumbuh subur.

Menurut Dedik, humus bambu kaya hara makro dan mikro yang siap dipasok ke tanaman saat dibutuhkan. 'Humus memiliki sifat mengikat hara agar tak mudah tercuci, tapi dapat diserap tanaman saat dibutuhkan,' ujar Dedik. Bobot jenis bahan organik pun lebih rendah ketimbang tanah merah sehingga humus bambu lebih ringan. Kini humus bambu populer di kalangan pemain dan kolektor puring di seputaran Yogyakarta dan Jawa Tengah lantaran banyak tersedia.

Berbeda

Menurut Handry Chuhairy, pemilik nurseri Hans Garden, tak ada media mutlak agar puring prima. 'Prinsipnya porous dan harus banyak tersedia sehingga mudah didapat,' kata mantan atlet renang itu. Artinya, bahan lain yang sudah lazim seperti arang sekam, pupuk kandang, dan pasir bisa digunakan. Arang sekam matang mudah mengikat air, tidak mudah lapuk, dan tidak gampang menggumpal. Peran pasir agar campuran media porous.

Bila bahan itu yang dipakai, komposisinya menjadi tanah, arang sekam, pupuk kandang dengan perbandingan 2:1:1. Atau tanah, pasir, dan kompos dengan komposisi 2:1:1. Toh itu pun masih bisa diutak-atik. 'Pilih yang paling cocok dengan lingkungan mikro di tempat masing-masing,' kata Handry. Bila lingkungan terlalu kering, tambahkan bahan yang mudah mengikat air. Sebaliknya bila lingkungan basah, berikan media yang mudah dilewati air dan perbanyak lubang pot. (Destika Cahyana/Peliput: Imam Wiguna dan Nesia Artdiyasa) ಸುಮ್ಬೇರ್ ತ್ರುಬುಸ್.ಕಂ,ಮಜಲಃ ಪೆರ್ತನಿಯನ್