Selasa, 18 November 2008

Minyak Asiri 140-juta/Kg


Namanya masih asing: lajagua. Komoditas itu tumbuh liar di tepian hutan dan punggung bukit sehingga jarang dilirik. Eko Wibowo justru mengolah rimpang tumbuhan anggota famili Zingiberaceae itu menjadi 600 kg minyak per bulan. Dengan harga jual Rp280.000-Rp300.000 per kg, omzetnya minimal Rp168-juta sebulan.

Eko Wibowo, penyuling di Ciherang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, itu memperoleh bahan baku berupa irisan rimpang kering dari para pengepul di Banten. Harga beli Rp3.500/kg. Menurut Eko, para pengepul hampir-hampir tak mengeluarkan biaya produksi. Sebab, mereka tak menanam lajagua. Kerabat kencur itu tumbuh liar di hutan jati, bambu, dan belukar. Mereka memanen dan selalu menyisakan sebagian tumbuhan untuk pemanenan berikutnya.

Rendemen penyulingan 2%, untuk memperoleh 1 kg minyak, perlu 50 kg bahan baku seharga Rp175.000. Dengan biaya produksi total Rp250.000/kg, laba bersihnya Rp18-juta/bulan. Ia mulai menyuling lajagua sejak 2007. Ide menyuling komoditas 'baru' itu muncul setelah berselancar di jagat maya. Dari aktivitas itu ia mengetahui ternyata pasar internasional juga memerlukan minyak lajagua sebagai bahan baku produk komestik, dan kesehatan.

Alumnus Universitas Diponegoro itu lantas berkeliling ke berbagai pelosok di Jawa Barat dan Banten untuk mencari sentra bahan baku. Setelah memastikan keberadaan bahan baku, barulah ia menyuling Alpinia malaccensis. Semula produksinya 50 kg per bulan untuk memasok eksportir di Jakarta. Lambat-laun permintaan pasar pun meningkat hingga 600 kg minyak per bulan. Eksportir yang ia pasok tak membatasi volume pengiriman.

Ingin margin yang jauh lebih besar? Minyak mawar dan melati komoditas yang menjanjikan laba besar. Lihat Suryatmi yang menyuling 2-3 liter. Ia menyuling bila ada pesanan yang rata-rata 2 bulan sekali. Volume sulingan memang kecil. Namun, harga minyak melati salah satu yang termahal, di tingkat penyuling Rp20-juta-Rp30-juta per liter. Menurut Suryatmi biaya produksi per kg minyak 'hanya' Rp12-juta. Rendemen minyak melati 0,1% sehingga untuk memperoleh 1 liter perlu 1 ton bunga segar. Dengan sulingan 3 liter, penyuling di Jawa Tengah itu menangguk laba bersih Rp36-juta.

Mahendra-ia enggan disebut nama sebenarnya-belum lama ini mengikuti pameran di Austria. Ia membawa 40 cc minyak melati. Dari jumlah itu 20 cc di antaranya ia bawa ke Paris, Perancis. Seorang the nose-ahli minyak asiri yang mengandalkan indra penciuman untuk mengetahui mutu-hanya berkata singkat, 'Execelent,' usai membaui minyak produksi Mahendra. Konsultan minyak asiri di Paris itu bertanya kepada Mahendra, 'Berapa banyak produksimu?' Ketika Mahendra menjawab 2 liter per bulan, the nose tertawa. 'Saya perlu 500 liter per bulan,' ujar Mahendra mengulangi dialog itu.

Raffiudin, eksportir di Tangerang, Banten, mengatakan pasar minyak melati sangat bagus. Setiap bulan ia mengekspor 3 liter minyak melati ke Amerika Serikat dan Korea Selatan. Permintaan dari Italia belum ia layani lantaran sedikitnya pasokan. Ia tak menyuling sendiri, tetapi menampung hasil sulingan skala rumahan. Pemilik CV Jujur Mujur itu membeli seliter minyak Rp20,5-juta dan menjualnya US$2.900 setara Rp27,8-juta.

Spesies yang banyak disuling adalah Jasminum sambac. Namun, spesies-spesies melati lain seperti melati manis Jasminum officinale, melati spanyol J. grandiflorum, dan melati gambir J. pubescens juga sumber minyak asiri. Sentra terbesar melati di pantai utara Jawa meliputi Kabupaten Batang terdiri atas 140 ha, Pekalongan (380 ha), Pemalang (780 ha), dan Tegal (400 ha).

Harga minyak mawar lebih menggiurkan, Rp140-juta per kg di tingkat penyuling (baca Mawar Melati Semua Menguntungkan hal 28). Itu bila produsen menyuling mawar damaskus Rosa damascena. Bandingkan dengan harga jual minyak mawar Rosa centifolia yang 'cuma' Rp20-juta/kg. Minyak mawar damaskus lebih mahal antara lain lantaran berendemen kecil. Raffiudin, eksportir di Tangerang, menjual minyak mawar alba ke Amerika Serikat US$3.000 setara Rp28,8-juta per kg.

Peluang besar

Lajagua dan bunga melati hanya beberapa bahan baku minyak asiri baru. Di beberapa daerah muncul para penyuling yang mengolah beragam komoditas 'baru' seperti bunga mawar, melati, daun sirih, dan kulit batang kayumanis. Komoditas-komoditas itu memang sudah lama tumbuh di Indonesia, tetapi baru belakangan ini para produsen menyuling.

Harap maklum, selama ini daun sirih hanya lazim sebagai pembersih mulut saat seseorang menyirih. Buah jeruk purut? Paling banter hanya sebagai campuran sambal ketika menikmati menu pecel lele. Namun, ketika disuling menjadi minyak asiri komoditas-komoditas baru itu berpotensi besar.

'Minyak asiri komoditas baru itu berpotensi untuk dikembangkan karena adanya tren masyarakat kembali ke alam,' ujar sekretaris eksekutif Dewan Asiri Indonesia, Dr Meika Syahbana Rusli. Meika, ahli teknologi kimia, mengatakan masyarakat sudah lama memanfaatkan beberapa bahan minyak asiri baru lantaran berkhasiat obat. Sirih, contohnya, berkhasiat sebagai antiseptik; jahe, antihipertensi.

Selain itu beberapa minyak baru itu mempunyai aroma yang khas, berbeda dengan minyak asiri pendahulunya. Minyak kaffirlime hasil sulingan kulit buah atau daun jeruk purut Citrus hystrix salah satu contoh. Menurut Meika minyak yang mengandung 14% sabinene dan 15% limonene itu cocok sebagai aromaterapi sehingga pasar pun menyerap minyak jeruk purut. Samsudin, penyuling di Tulungagung, Jawa Timur, hanya mampu memasok 250 kg minyak jeruk purut per bulan.

Volume sulingan yang tak seberapa itu mesti ia bagi dua untuk memasok eksportir di Surabaya dan Jakarta. Dengan harga jual Rp700.000 per kg, omzetnya Rp175-juta sebulan. Pendapatannya bakal kian membumbung andai saja ia mampu meningkatkan produksi. Sebab, eksportir sanggup menampung berapa pun pasokan kaffirlime.

Krisis ekonomi memang tengah melanda Amerika Serikat. Namun, menurut para eksportir seperti Januar Taher dari PT Haldin Pacific Semesta, krisis tak mempengaruhi permintaan pasar dunia. Ia mengatakan permintaan beberapa jenis minyak asiri justru meningkat. Peningkatan permintaan itu boleh jadi lantaran beragam produk berbahan minyak asiri sudah menjadi kebutuhan pokok para konsumen kelas atas.

Langka

Untuk memenuhi tingginya permintaan minyak asiri baru itu, memang tak semudah mengedipkan mata. Sebab, banyak hambatan menghadang. Kendala klasik adalah bahan baku amat langka seperti dialami Arjani. Penyuling di Wanayasa, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, itu setahun terakhir menyuling lajagua. Sayang, pasokan bahan baku seret karena belum ada yang mengebunkan kerabat jahe itu.

Pemasok yang mengirimkan bahan baku ke Arjani mengambil rimpang tua di alam. Di Purwakarta sentra lajagua di Pegunungan Burangrang. Akibat pasokan terbatas, pria 40 tahun itu hanya sanggup memasok puluhan kilo minyak lajagua per bulan dari permintaan tak terbatas.

Keterbatasan bahan baku itulah yang menyebabkan Helsangga berhenti sementara menyuling kemukus Piper cubeba. Sebelumnya, selama 3 tahun penyuling di Yogyakarta itu rutin menyuling 200 kg buah menjadi 20 kg minyak per hari. Harga pembelian buah kemukus rata-rata Rp40.000 per kg. Artinya untuk memproduksi 1 kg minyak ia memerlukan 10 kg bahan baku senilai Rp400.000. Sedangkan harga jual minyak Rp800.000-Rp900.000 per kg.

Joko Suyono menghadapi masalah serupa sehingga tangki penyulingan berkapasitas 300 kg pada 2 bulan terakhir menganggur. Penyuling di Rancaekek, Kabupaten Bandung, itu sulit memperoleh daun sirih. 'Bahan baku sangat susah didapat. Sekali membeli hanya bisa mendapatkan sekitar 5 kg sirih,' kata Joko yang menyuling sejak 2003.

Selain itu kendala lain berupa pemahaman soal mutu bahan baku. Arjani pernah kecele membeli 2 ton rimpang jahe. Setelah ia suling rendemennya hanya 0,3%. Itu karena pekebun memanen rimpang muda, umur panen 5-7 bulan. Idealnya jahe panen ketika berumur setahun sehingga rendemen relatif tinggi, 1,2%. 'Sulit membedakan rimpang jahe yang panen muda dan panen tua. Di daerah kering, warna jahe yang dipanen muda sama dengan yang dipanen tua,' kata Arjani yang menyuling jahe 3 tahun terakhir. Arjani mengatakan hanya jahe emprit yang potensial disuling lantaran rendemen paling tinggi ketimbang jahe lain-jahe gajah dan jahe merah.

Kurang pasokan

Bila beragam hambatan teratasi, pasar minyak asiri baru itu terbuka. Lihatlah Sugono yang kelimpungan memenuhi permintaan rutin 20 ton minyak kayumanis setiap bulan. Saat ini penyuling di Bogor, Jawa Barat, itu baru sanggup memproduksi 100 kg minyak kayumanis per bulan. Dengan harga jual Rp600.000 per kg, omzet Sugono mencapai Rp60-juta. Menurut Sugono biaya produksi sekilo minyak 'cuma' Rp200.000, sehingga laba bersihnya Rp40-juta sebulan.

Di Jenangan, Kabupaten Ponorogo, Provinsi Jawa Timur, sejak 3 tahun lalu Mutato Hari rutin menyuling rimpang jahe Zingiber officinale. Pria 38 tahun itu memproduksi 80 kg minyak per bulan untuk memenuhi permintaan eksportir. Alumnus Universitas Pembangunan Nasional Veteran Surakarta itu memperoleh harga Rp700.000 per kg sehingga omzetnya Rp56-juta. Menurut Mutato biaya produksi per kg minyak mencapai Rp420.000.

Biaya terbesar, tentu saja, untuk pengadaan bahan baku. Sebab, rendemen jahe relatif kecil, 1% sehingga untuk menghasilkan 1 kg minyak ia memerlukan 100 kg bahan segar. Pemasok bahan baku adalah para pekebun di Pacitan, Nganjuk, Trenggalek, dan Tulungagung-semua di Provinsi Jawa Timur. Dengan harga beli Rp2.000 per kg, sarjana Teknik Sipil itu harus mengeluarkan Rp200.000 untuk memproduksi 1 kg minyak. Laba bersih Mutato Hari dari penyulingan minyak jahe mencapai Rp22,4-juta sebulan.

Yang juga kewalahan melayani permintaan minyak asiri adalah RA Eti, pemilik PT Pemalang Agro Wangi. Empat tahun terakhir ia mengekspor minyak mawar, melati, jahe, jeruk purut, kemiri, dan nilam. Volume ekspor setiap Juli dan Desember masing-masing 200-300 kg minyak jahe, 10 kg mawar, 5 kg jeruk, 1 kg melati. Selain nilam yang ia suling sendiri, kontinuitas ekspor minyak-minyak asiri itu mengandalkan pasokan para penyuling binaan di berbagai kota.

Ibu 5 anak itu lalu mengemas minyak asiri itu dalam botol 10 cc dan 20 cc sesuai permintaan pembeli. Pembeli di Paris, Perancis, sebetulnya tak membatasi volume pengiriman. Namun, Eti mesti membagi dengan pasar domestik. Maklum, setiap bulan 3 pelanggannya datang menjemput beragam minyak asiri. Mereka ekspatriat asal Taiwan, Italia, dan Singapura yang membeli minyak asiri untuk dikirim ke negara masing-masing. Total permintaan mereka rata-rata 1 kg minyak melati, 10 kg jeruk purut, dan 300 kg minyak jahe. 'Prospek minyak asiri baru itu sangat bagus. Seluruh dunia antusias dengan semua minyak asiri Indonesia,' ujar mantan guru SD yang kini eksportir itu.

Mungkin karena itulah Mulyono, eksportir di Jakarta, terus mengembangkan jenis-jenis minyak asiri baru. Separuh dari 20 jenis minyak asiri yang Mulyono suling merupakan jenis minyak baru seperti bangle, jahe, kunyit, lajagua, dan lengkuas. Kepada reporter Trubus Faiz Yajri direktur PT Scent Indonesia itu mengatakan rutin mengekspor 500 kg minyak jahe per bulan. Pria kelahiran Cilacap, Jawa Tengah, 21 Desember 1943 itu menuturkan permintaan minyak jahe tak terbatas. Sayang, ia menolak menyebutkan harga jual dan margin dari perniagaan itu.

Bermitra

Menurut Muhammad Chandra pasar juga memburu minyak asiri kayuputih. Manajer industri Perum Perhutani Unit 3 Jawa Barat itu mengatakan, 'Bisnis minyak kayuputih tidak pernah rugi. Produksi berapa pun selalu terserap industri. Itu baru industri dalam negeri, belum industri luar negeri,' ujar alumnus Fakultas Biologi Universitas Padjadjaran. Ia memasarkan 31 ton minyak kayuputih per bulan untuk pasar domestik.

Chandra memproduksi minyak kayuputih selama 8 bulan dalam setahun. Ketika curah hujan tinggi, November-Januari, ia berhenti memproduksi lantaran rendemen melorot, hanya 0,6%. Rendemen pada musim kemarau 0,8%. Itu berarti untuk menghasilkan 1 kg minyak perlu 125 kg bahan baku berupa daun tua berumur 6-9 bulan. Saat ini Perhutani menjual minyak kayuputih kepada industri Rp110.000-Rp115.000 per kg.

Perhutani Unit 3 juga mengembangkan kemitraan dengan penyuling skala rumahan. Parimin Abdullah, mitra Perhutani, menyuling 2.000 kg bahan baku sehari. Mesin penyuling miliknya berkapasitas 1.000 kg. Dalam sehari produsen di Kawunganten, Kabupaten Cilacap, itu 2 kali menyuling. Dari 2 ton bahan baku, guru Madrasah Ibtidaiyah-setingkat SD-Al Manar-itu memperoleh 16 kg minyak. Parimin memperoleh bahan baku gratis dari Perhutani.

Konsekuensinya hasil penjualan minyak dibagi 2 dengan persentase 60% untuk Parimin dan 40% untuk Perhutani. Menurut Parimin biaya produksi 1 kg minyak-tanpa memperhitungkan bahan baku-cuma Rp13.600. Harga jual minyak Rp89.000 per kg. Parimin memperoleh bagian 60% atau Rp53.400. Bila produksinya 16 kg per hari atau 480 kg per bulan maka laba Parimin Rp19,1-juta.

Itu bukti perniagaan minyak asiri bukan cuma monopoli perusahaan besar. 'Dari dapur kita bisa menghasilkan uang karena modal menyuling relatif kecil,' kata RA Eti. Apalagi Indonesia mempunyai minimal 70 tumbuhan penghasil minyak asiri. Baru sebagian kecil yang tersuling untuk memenuhi besarnya pangsa pasar. (Sardi Duryatmo/Peliput: Ari Chaidir, Niken Anggrek, & Tri Susanti)

3 Komentar:

Pada 25 Oktober 2015 pukul 20.04 , Anonymous Gema Parfum mengatakan...

Terima kasih infonya gan.
Lumayan buat nambah wawasan.

Gema Parfum :
Parfum Bunga Mawar.

----------

 
Pada 22 Oktober 2016 pukul 11.32 , Blogger Bambang_chod mengatakan...

Saya petani sereh wangi dari tangerang..kira2 ada yg membutuhkan gak buat bahan penyulingan. Hub:0897 6283 435. Email: bambangchod@gmail.com

 
Pada 1 Desember 2016 pukul 20.58 , Anonymous Anonim mengatakan...

ass..saya dari blitar/jatim..barang kali ada yg butuh pasokan buah jeruk purut buat di ambil minyaknya..saya sedia mensupllai..081333199193..pin.59e698b0

 

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda